Tuesday, June 7, 2011

Anak Rembulan

Anak rembulan, mari tuliskan.. tentang perjalanan yang baru genap usia setelah penuh lingkaran. Ayo ceritakan, kepedihan dan kemarahan yang kita pendam. Lama tidak mengeluh, bukan berarti kita cukup kuat menanggung beban. Lama tidak menyelonjorkan kaki yang pegal melewati malam, bukan berarti kita selamanya bugar. Oh anak rembulan, senyummu teduh dan tiga perempatnya meninggalkan kemisteriusan. Kubaca mantra, namun sial, tetap tak terbaca ramalan.


Senyummu seolah menang, tak mampu aku rengkuh lengkung tubuh penuh peluh. Apa yang bisa kulakukan, mau kuambilkan buku bersampul biru? Agak berdebu memang, namun ia sempat menjadi kesayangan. Jack and the Beanstalk judulnya, kubaca berulang-ulang saat aku duduk dibangku sekolah dengan isi kepala penuh lamunan. Akan kutelusuri kembali perjalanannya, tentang daun kacang panjang yang menjalar tinggi hingga ke langit. Kembalilah kembali padaku, imaji, lamunan yang bebas tanpa kendali. Aku ingin hembuskan nafas pada ruh mu sekali lagi. Maka dalam hitungan ketiga, bergelayut tubuhku memeluk anak rembulan yang tersenyum pada Jibril.


Berhentilah menerka dan berhitung, pintamu padaku. Dari langit manusia tampak kecil seperti rumah-rumahan pada permainan monopoli. Ayo kita nikmati. Duduk di puncak batas yang burung bahkan tak mungkin lagi lewati. Kamu... ya, kamu.. maukah menghibur kertas kusam yang kotor oleh gesekan kasar? Melukislah di atasnya, ambil kuas halus dilaci dalam kamar. Beri warna pada malam, tentu masih kau ingatbukan, bagaimana ayah ajarkan menggenggam sebatang kayu berbulu itu. Muntahkan semua gelombang yang paling meresahkan dari ketidakpastian. Menumpahkan tinta hitam pada gelap malam. Terhuyung bergoyang di sudut mataku, kamu menari-nari mengajak bintang yang tak satupun tampak. Kasihan.


Goresan merah keemasan pada tubuhmu memang menyilaukan, tapi gelap masih kesepian. Luka tetap kesakitan, kebodohan masih menjadi hiasan. Aku merutuk pada anak rembulan. Aku menyobek lembaran dongeng si kacang panjang. Keindahan yang kudapat dari cerita menjelang tidur menghilang seperti alkohol yang dicampur minyak tanah, tertinggal bau aneh dan udara gamang. Tak ada, kubilang.


Anak rembulan, keindahan ini semu di seperempat malam. Temui aku lagi saat genap usia lingkaran, yang menatap cinta dengan dewasa dan penuh kelembutan.



Kututup jendela kamarku, lalu sempurna kubayangkan kamu disamping tidurku...


jogjakarta, 6 Juni 2011

Sunday, May 1, 2011

Come and Go

I meet u in one point when i don't know when and where u're going to leave me (one day).


Ya. Life . People come people go, some leave me a very clear and good memories, some leave me mesmerizing stories i wanna tell to daughter and grandchild before they sleep (oh please don't ask when will it be happened exactly hehe) :) . I wish I can remember all without a single thing missed. Brain needs to work extra time and heart needs to be very patient to keep all faith in the past. Laugh and tears. Sad and happy. Mad and care. Yes all we've shared through the ups and downs.

You know, I always believe i'm gunno miss it someday. And you probably too. When we finally old and even have no bravery to imagine to be young again :)


Here he is, one of the story i wanna share to. Bagus Manik. Brother i met in a very small office but teach us a very big thing in life. Geronimo, more than just a radio where we work, it's a part of journey in life that we always thank for. No matter how long we spent time together there, we'll always be blessed having each other more than as friend. We are family.


These were the pictures we took in the last day, little surprise hopefully will mean so much when u miss us, Gus.


Take care and have a great journey there. I know u always be good, with your straight face telling the world whether u like or u don't hahaha.. Keep the faith u can go through anything with honesty and discipline :) I learned from you..


Remember, we are ur home. U never go, u can come anytime. So please :)


Ps: I made this note in english just to remind me that u are the most "kem-inggris" brother i ever met in that office (well, i count out "awang" the panda :p) Here I also put my shoes u made a joke about :)


Cheers,


Will miss u and your cynical words Hahaha!

Saturday, April 23, 2011

Saya dan Kebaya.

Lebih dari sekedar kecintaan saya yang lebih pada pakaian nasional ini, namun juga rasa bangga saat menyadari ini merupakan langkah sederhana untuk ambil bagian dari salah satu pelestarian budaya.


Kebaya. Tidak bisa dipungkiri, jika anak muda seperti saya (at least yg masih merasa muda lah hehe)sering melekatkan embel-embel tidak nyaman, ribet, kuno dan masih banyak persepsi negatif yang membuat kebaya semakin ditinggalkan. Sementara jika saja kita lebih rileks saat berpikir tentang kebaya yang tidak melulu kaku dengan bahan brokat yang berat, tidak melulu bermodel monoton dan begitu-begitu saja, sebenarnya toh kebaya menjadi lebih dari model pakaian tradisional yang (ternyata) bisa nyaman juga. Coba padankan kebaya kutu baru berbahan katun paris dengan celana jeans panjang atau bahkan celana jeans pendek. Pasti kesannya jadi lebih modern.


Sempat terlintas di pikiran saya, kenapa ya kita tidak seperti orang-orang India yang dalam keseharian mereka sering sekali memakai baju tradisionalnya. Saat saya kuliah dulu, teman India saya, sering terlihat datang ke kampus menggunakan baju kurung panjang yang berbordir khas india. Eh akhirnya malah saya yang jatuh cinta dengan ornamen India. Dari situlah saya menyimpulkan, jika bukan kita yang mempertahankan budaya yang kita miliki, siapa lagi. Kalau kita saja tidak bisa jatuh cinta dengan tradisi sendiri, bagaimana yang lain akan berminat.



Percaya lah, saya juga terkadang melihat sesuatu yang ke"bule-bule'an itu keren, yang kem"inggris" kalo lagi ngomong di depan mic ato lagi caper heheeheee.. tapi hal kecil yang saya usahakan untuk budaya adalah dengan tidak meninggalkan kebaya dalam keseharian saya. Tentu saja yang sudah saya modifikasi senyaman, setrendi mungkin dan bisa di temukan di Santi's Shop. Sebuah butik mungil di gejayan hehehe..


21 April kemarin saya sempat berkunjung ke Cokelat Roso, senang! karena ketemu Mbak Meika Hazim yang juga berkebaya kutu baru dan tetap telihat chic casual. Yaaaah, semoga bukan hanya karena hari Kartini ya jadi rame ngeliat kebaya dimana-mana. Tapi karena memang kebaya adalah bagian dari budaya yang tidak boleh hilang, bisa tetap terlihat cantik dan trendi sehari-hari :)


Happy Kartini's Day!




Wednesday, March 16, 2011

Anjing Buduk

Cermin berukir dan berbingkai lapisan perak itu terlihat sangat tinggi, dua kali lebih tinggi dari posturku berdiri. Aku ingat ketika pertama kali ia membawanya ke rumah ini, saat itu tuanku baru saja akan merayakan 40 hari anak pertamanya, persis saat pemilihan presiden berakhir ricuh dan harga bensin melambung dipenghujung 90-an. Ketika itu aku merasa amat yakin dia akan segera melupakanku, tak akan lagi berlama-lama bermain denganku, lupa memeluk dan mencium pipiku sebelum terpaksa berpisah malam di kamarku, melewatiku begitu saja saat yang lain ia dipamiti sebelum berangkat kerja. Perasaan takut, cemburu menghantuiku beberapa waktu, tentu saja dia akan melupakanku, saat ada mainan baru yang lebih menarik dariku, lebih hidup dariku, lebih bisa bicara dan yang pasti, lebih menjadi darah dan dagingnya. Bukan seperti aku yang hanya ditemukan di ujung gang tanpa pemilik. Namun semua kekhawatiranku salah, tuanku sama sekali tidak begitu. Dia tetap memelukku sebelum tidur, tetap berpamitan denganku sebelum pergi kemanapun, ya kemanapun. Sesekali ia mengajakku, jika tidak, aku yang mengantarnya sampai pagar kayu di depan rumah. Dia tidak melupakanku sedikitpun, itulah kenapa aku begitu merindukannya jika ia pergi ke luar kota begitu lama, aku kesepian.

Aku begitu mencintai tuanku. Bahkan aku hafal caranya menggeser kaki saat melangkah, aku hafal aroma tubuh yang ia sebar di udara meski wajahnya belum tampak oleh mata. Aku biasa berlari menjemputnya untuk menciumi tangannya, mengatakan betapa aku adalah hambanya yang setia. Namun itu dulu.. saat kaki ini mampu tegap menyangga tubuhku yang segar, saat bulu-buluku masih tebal, saat aku muda dan lincah berpacu dalam hitungan detik melawan angin berlari. Saat itu, aku sungguh merasa menjadi kesayangannya yang penuh pesona.

Sekarang kuamati, wajahku mulai murung, bulu-buluku yang panjang dan lebat mulai menipis. Dulu sempat kudengar beberapa kali tuanku memuji keindahan bulu kecoklatanku di depan para tamunya. Katanya, makanan yang sehat dan shampoo terbaik yang membuat buluku secemerlang itu. Yah, tentu saja pujian itu tak pernah kudengar lagi sekarang, lebih sering kudengar ia mengasihani bulu yang rontok, atau wajah dan tingkahku yang murung. Ingin sekali kukatakan padanya, sungguh, aku tidak murung atau menderita, hanya saja aku tak tahu apa sebab pipi di wajahku menjadi turun dan menggelambir, seperti halnya aku tidak tahu awal mula tubuhku semakin membesar dan berat.

Segalanya berubah, bukan hanya aku, tuanku pun sudah tak seperti dulu padaku. Aku tidak yakin apa dia tidak cinta lagi padaku. Karena dia masih menciumku sebelum tidur malam, masih berpamitan padaku sebelum bepergian. Masih sesekali bercanda denganku saat dia butuh teman yang menghiburnya saat ia tenggelam dalam kesedihan. Namun genggamannya tak selembut dulu, kurasakan getaran saat dia berpetualang di tubuhku. Dia sudah tak terlalu bersemangat mengajakku berlari mengitari perumahan, sering kali waktu sorenya dia habiskan untuk pengajian. Katanya di penghujung usia akan lebih banyak waktu dia gunakan untuk beribadah. Aku tak keberatan, mengingat rasanya tubuhku pun mulai malas kutegakkan, meringkuk lebih nikmat untuk postur tubuhku.

Ah tapi semestinya tak perlu lah aku berkecil hati, Cermin tinggi di ruang keluarga rumah inipun sudah tak segagah dulu. Permukaannya retak dan direkatkan sekenanya hingga meninggalkan bekas disamping patahan kanan kirinya. Tuanku sudah memiliki cucu yang luar biasa lincah sekarang, sesekali ia mengunjungi rumah ini dan membuatnya seperti kapal pecah. Aku menyukainya, kurasa diapun menyukaiku, kami kerap kali bermain bersama. Tendangan dari kaki mungilnya itu lah yang membuat bola melambung tinggi dan menghantam cermin hingga retak. Sudah coba kutangkap bola yang dia lambungkan, namun tubuhku terlampau berat kugerakkan sekarang, hingga melesetlah bola sasaran dan mencelakai cermin kebanggaan. Sempat kudengar ayahnya memarahinya, katanya, itu cermin penuh kenangan peninggalan neneknya. Tapi tuanku tidak, ia hanya tertawa dan segera mengambil perekat untuk menempelnya kembali. Kudengar ia berbisik perlahan, dia rindu sekali pada istrinya. Mendengarnya, entah kenapa kurasa pipiku semakin melorot, wajahku bertambah murung.

Menurut tuanku, usiaku tak akan lebih lama lagi dari hitungan anak sekolah menengah pertama. Katanya, sudah luar biasa aku bisa bertahan hingga usia 10 tahun seperti saat ini. Tuanku termasuk yg percaya hitungan satu tahun usia anjing setara dengan tujuh tahun usia manusia. Meski aku tak suka mendengarnya, namun dia suka sekali bertaruh padaku tentang siapa yang akan lebih dulu meninggalkan siapa. Sering pula berseloroh, semoga dia tak harus ditinggal pergi untuk yang kesekian kali. Ah, itu sungguh menakutiku. Ketakutan yang masih sama yang menghinggapiku saat kupahami bahasa tubuhnya. Suatu pagi, pelan dia berbisik, berpesan pada anaknya untuk menjagaku meski apa terjadi. Sedikit meninggi nada suaranya, berkata tak tega bila harus melihatku mati di penghujung usianya, tak kuasa menyaksikan sendiri saat nanti mataku rusak dan bola mata mulai lepas, menggantung seperti air mata yang mengeras tak mau turun di tengah pipi. Dia tak akan sanggup katanya.. Dia ingin mati tanpa harus melihat wajahku yang murung, dia ingin mati lebih dulu hingga tak perlu menangisi kematianku. Kesedihan bagiku, saat rupanya harapannya mewujud nyata, tuanku berhasil.

Tinggalah disini aku sekarang, didepan cermin tinggi yang retak, menghitung ketukan menunggu kematian. Menikmati hidung yang meler terus berair, mata yang mulai redup dan nyaris jatuh di usia tua. Anak tuanku sering memelukku beberapa saat, namun tentu tak ada yang mampu menggantikan tangan hangatnya yang merenta bersamaku, tak sama tarikan nafas dan aroma keringat yang dihabiskan saat berlari bersamaku. Aku kesepian tuanku. Aku ingin kau memelukku seperti saat hujan sore itu dan kau kedinginan. saat buluku menggumpal dan aku meringkuk di kakimu.

Kulihat pendar bayang wajahku semakin melorot. Aku tak lebih dari seekor anjing buduk berwajah murung yang merindukan tuannya. Ya seperti itulah aku.

jogjakarta, 16 Maret 2011

Thursday, February 24, 2011

Hitungan Itu Tak Bisa Dinamakan Cinta

Kau kibaskan perlahan dua lembaran berwarna merah di depan hidungku, aku acuh. Tak menarik bagiku. Sungguh.Kutaksir semestinya bahkan bila isi dompetmu habis terkuras, tetap tak terjinjing tak bisa kau bawa pulang. Aku mengasihanimu dalam hati. Kenapa harus aku lawanmu. Harga diri yang kujunjung tinggi tak akan kubiarkan terbeli, bahkan tak peduli habis ditinggal pembeli. Jika memang kau anggap aku terlalu percaya diri, bukan perkara, aku akan tetap melambung melintasi mega mendung. Jika aku lupa kembali, sepucuk tulisan tangan kusembunyikan di meja belajar laci kiri. Tanda dulu aku pernah mati-matian mencintaimu. Ya, teramat mencintaimu maksudku, bahkan melebihi cintaku pada takdirku.

Siang tadi kukenakan batik terbaikku, harapanku agar kau persis benar mengingatku. Tapi kau membongkar isi kepalaku, kau bedah dgn teliti ruas per ruas hingga kau temukan kesalahanku. Mempresentasikannya di hadapanku, menganalisa satu persatu lalu menelurkan formula untuk penelitian terindahmu. Aku.

Kau hargai berapa aku? Teori yg membuat aku ingin berbalik menyerangmu dengan hitungan-hitunganku, mengukur lompatanmu dengan takaran yang sempit dan melukai. Oh maafkan, tak semestinya aku memistari panjang lintasan yang sudah kita lewati, tak semestinya aku menimbang berapa liter keringat terkuras saat kita berlari. Tak semestinya aku, senyeri apapun nafasku. Aku menyesal..

Namun maaf jika harus kututup telingaku, bukan aku tak ingin mendengarmu, memotivasiku dengan kata-katamu, yang tentang pendek langkahku, tentang pelan kecepatanku. Sungguh bukan aku tak mengamini mantramu. Aku hanya ingin terus melaju. Tanpa ada penilaian yang menggelayut di pergelangan kakiku. Ringan seperti kapas, aku akan terus melaju. Sudah terlanjur kuputuskan ini pilihanku.

Demi Tuhan yg baik hati, maukah kita simpan hitungan di kepala? Tak kulihat cinta pada hapalan. Tak kudengar sayang saat nyaring melengking suara. Tak kutemukan masa depan saat saling menyakiti menjadi semacam audisi.

Jika tak terkejar larimu, terlampau melesat tak tergapai lagi olehku, tak bersediakah kau menungguku? Jika tak banyak waktumu, akupun tak tahu berapa sisa umurku. Dan maaf jika harus kuulang sekali lagi. Bisakah kita, kamu dan aku, mencukupkan hitungan tersimpan kepala? Karena bukankah semestinya kita saling menyemangati agar garis tujuan itu terasa tinggal sebentar lagi. Bukan sebaliknya.

Saat amarah meluncur tak tersaring lepas bebas begitu saja, tak terlihat cinta dari mata merah yang bicara. Sayang, hitungan itu tak bisa dinamakan cinta.



Jogjakarta, 25 Februari 2011

Saturday, January 15, 2011

Sarang

Teringat seperti saat pertama laba-laba bersarang di pojok langit-langit rumahku. mengejutkan dan sedikit menakutkan. Tergesa coba ku hilangkan, kucari semacam sapu setinggi 2 meter, lantas kubersihkan. Selalu begitu. Setiap hari kuamati, apa muncul lagi rangkaian benang di sudut yang sama. Memang terkadang tempatnya berganti, namun tetap saja mampu membuatku bersorak hati. Diatas semuanya sebelum memulai hari, pekerjaanku adalah mengenyahkan penumpang hidup yang membangun singgasana di atas kerajaanku sendiri.

Ritme keseharianku, tanpa kusadari adalah menjadi pengawas yang sejati, menengadahkan kepala, lalu mencari-cari. Siapa yang bilang aku mulai menanti? kemarilah, kuberi dia lembaran biru gambar pemimpin edisi lalu, ya, terima kasih untuk sebuah jawaban jitu. Aku bukan hanya mulai menanti, aku keasyikan tenggelam dalam hingar bingar penyambutan. Langkahku riang menuju tempat pertemuan. Sebuah siulan aku dendangkan dalam perjalanan.

Sekali waktu kujenguk persemayamannya tepat saat sinar matahari terbit menelusup dari celah atas jendela. Wow. Susunan benang berkilau keemasan, kemilaunya lembut menyinari sisi suram hati sebelah kiri. Sontak kusimpan galah yang biasa membasminya tanpa ampun. Siapa yang tega menghancurkan tempat tinggal yang begitu indahnya. Tidak juga aku.

Pemandangan yang kuduga Tuhan kirimkan untuk menghiasi kejenuhanku, cita rasa tak biasa yang mendekorasi stagnancy-ku. Aku bukan hanya terkesima, tak bisa tidur aku menerka siapa pemilik rumah mempesona di langit-langit petak yang tak lebih luas dari mushola kampungku. Pastilah sang penunggu sama anggunnya dengan rumah tinggalnya. Bukankah dia sendiri yang melilit setiap helainya hingga menjadi bangunan ajaib. Pasti keahliannya muncul dari pemahaman luar biasa akan seni yang menjadi nafasnya.

Aku berselancar di dunia maya, kutelusuri segalanya tentang sarang laba-laba. Orang-orang bilang kewarasanku terampas sia-sia. kubalas hanya dengan seulas senyum biasa. Tak apa, biarlah ini menjadi rahasiaku dengan semesta, apa sebab aku begitu memujanya. Seuntai talinya akan membuatmu kesulitan jika kau ukur dengan mistar, hanya 0,001 lebarnya, apalah artinya mereka pikir. Namun siapa menyangka, terbukti kekuatannya 5 kali lebih kuat dari baja yang berukuran sama. Para ahli menelurkan terobasan menggunakan kekuatan tak terbayangkan tersebut, sebuah rompi anti peluru dibuat dengan material yg sering termarginalkan kehadirannya. Sebuah bangunan anti gempa terinspirasi oleh bentuk bangunan sarang laba-laba. Lalu bagiku, pesonanya membuatku jatuh lebih dalam, pantas tak terbantahkan.

Aku mulai melukis tentang laba-laba, menuliskan lirik untuk sarangnya. Aku habiskan waktu menunggu datangnya serangga 4 pasang kaki, sekedar mengucap selamat malam lalu tertidur dalam mimpi berselimutkan benang-benang kemilau. Begitu seterusnya hingga kusadari mimpiku terasa begitu nyata. Saat aku tertidur dalam kesedihan dan bantalku lembab oleh air mata, kurasakan pelukan mungil menggelitik dari belakang. Kupikir aku tak sekedar bermain dalam imaji, sungguh kurasakan ujung-ujung jari kaki mungil itu benar-berar ada. Aku merasakan kehangatan dari dalam ketulusan. Kurasakan tubuhku tenang, tak merasakan gelombang, tak ada getaran. Benar-benar tenang seperti bayi yang dibedong dalam balutan jarik lurik.

Ya tuhan, kekuatan apa ini yang begitu melenakan.. Kuintip dengan sebelah mataku, tubuhku terbalut penuh benang. Berkilau keemasan. Aku seperti kepompong, hanya tinggal tersisa kepala saja yang tidak terbungkus. Aku berayun diatas sarang yang megah serupa permadani. "Tenanglah, kamu akan aman.." sebuah bisikan menenangkan. Aku pasrahkan, aku leburkan ketakutan..

Tidurlah aku lebih lama.. dalam usapan meneduhkan, dalam bisikan mendayu kalbu. Jangan terbangun, jangan pernah terbangun.

Sarang ini mencengkeramku, keindahannya membuatku tak sanggup berpindah. Sementara sang serangga tampak bersiap, beranjak pergi meninggalkanku di kediamannya yang agung. Tak ada masalah, di teduh sorot matanya, dia melangkah dengan pesona dan kegagahan yang tak sombong. Entah langit-langit mana lagi yang akan dia sambangi.

Aku masih berbalut untaian benang berkilau-kilau, terbungkus diam yang kokoh, tak tembus dan tak robek. Entah karena tak mampu atau entah tak mau. Hingga aku mematung dan kerikil berjatuhan menetes dari mataku. Tak lagi bisa kutemukan. Laba-laba itu menghilang dalam gelap sudut jalan.

Lalu itu lah kali terakhir aku melihatnya di hidupku, serangga delapan kaki yang meninggalkanku di sarangnya.

Jogjakarta, 16 Januari 2011

Saturday, January 1, 2011

Keranjang Tua

Dipenghujung tahun, kuamati kesayanganku yang berdebu, terbuat dari anyaman bambu. Dahulu ia kesayangan ibu, lalu diwariskannya padaku. Keranjangku yang tak lagi muda, kulitmu mengelupas disini dan sana, teringat dulu kubawa serta kemanapun langkahku mengudara. Teman setia, menghibur setiap luka dan derita. Gagang kayunya yang dahulu kokoh terkadang sekarang terlepas begitu saja, kurasa karena dimakan usia. Demi tuhan sedihnya, kutahu kau tak ada duanya.

Saat bilal mengumandangkan pujian untuk Sang pemilik nama indah, kuletakkan mukenaku disana. selepas bercumbu dalam doa yang kadang teringat kadang tidak. Tapi setelan putih, penutup aurat penghuni setia keranjang anyaman pemberian ibu yang bertuliskan namaku.














Kali ini, lagi-lagi aku datang membawa banyak gelap. Lebih tebal dari kelamnya malam pekat. Tak cukup bila hanya tergenggam dalam jemari perempuan kecil yang larut dalam timang pangkuan kanak-kanak.

Pendamping adam sebagaimanapun terdidik untuk tegar, sanggup menyelimuti segala pedih dengan kelembutan. Namun sayang, bagaimana harus kusembunyikan kesedihan. Saat keranjang tua sudah terlanjur penuh menampung semua. Tak kutemukan sedikit sela untuk meletakkan kepedihan. Kudesak, kutekan, kurapatkan semua isi di dalamnya. Tak juga kutemukan sela. Lalu dimana harus kuletakkan setetes air mata, bila sudah tak ada tempat untuk perempuan menangis dan kelelahan..